Perang Dunia Ketiga (Isu)

klik disini

Setelah kemarin bahas tentang panasnya dunia karena isu, Perang Dunia Ketiga, kali ini Hana bakalan bahas pendapat Hana berdasarkan isu yang beredar ya ^^.

Jadi, isu perang dunia ketiga ini dimulai sejak ada berita terbunuhnya komandan militer Iran, Qassem Soleimani. Sebenanrnya, sejak dulu, hubungan Iran & AS memang tidak pernah membaik kecuali pada zaman pemerintahan Barack Obama. Dan hubungan kedua negara itu kembali pecah sejak Donald Trump menjabat sebagai kepala negara AS. Sebelum komandan militer Iran terbunuh, Trump udah membatalkan perjanjian nuklir untuk kedua negara itu. Dan hal yang paling lucu, Trump ini menagtaakan pembunuhan terhadap qassem itu untuk penghentian perang. Tetapi, pihak yang dirugikan (Iran) tentu saja tidak terima dengan penyataan AS.

Pada 2 Januari 2020, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan bahwa ada indikasi bahwa Iran atau kelompok-kelompok yang didukungnya mungkin tengah merencanakan serangan lanjutan terhadap kepentingan AS di Timur Tengah. "Jika itu terjadi, maka kita akan bertindak,” katanya.

Selain Jenderal Qassem Soleimani, 6 orang lainnya juga dinyatakan tewas dalam serangan tersebut, termasuk Abu Mahdi al-Muhandis yang menjabat wakil komandan dari kelompok milisi pro-Iran di Irak yang bernama Pasukan Mobilisasi Populer (PMF).
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei mengecam keras aksi brutal AS yang menewaskan perwira tinggi Iran tersebut. Khamenei menyebut pihaknya tidak akan tinggal diam atas aksi bejat AS. Iran akan membalas dendam.

Sementara itu, Donald Trump juga mengeluarkan pernyataan merespon sikap Iran, bahwa AS tidak akan diam seandainya Iran kembali menyerang.
Konflik AS-Iran ini kembali mencuat setelah lama mengalami pasang-surut. Sebelumnya, AS-Iran sempat berada di ambang peperangan lantaran pesawat pengintai nirawak Global Hawk milik AS ditembak jatuh di selat Hormuz yang memisahkan daratan Iran dan jazirah Arab pada 20 Juni 2019.
Lalu bagaimana nasib Indonesia jika PDIII terjadi?
Menurut pakar, perang ini kemungkinan nggak akan jadi perang all out yang melibatkan seluruh dunia. Indonesia juga tidak punya kepentingan untuk membela AS atau Iran.

Apalagi Menteri Pertahanan kita Prabowo Subianto baru saja menunjukkan persahabatannya dengan china. Mana mau AS temenan sama negara yang bilang “sahabat” ke musuh mereka.
Membela Iran adalah hal yang lebih mustahil buat Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penganut Islam Syiah, fakta ini sudah bikin banyak orang Indonesia kepanasan.
Lagian, ngapain juga kita ikut-ikutan perang yang dimulai sama Amerika. Dapet untung nggak, mati sih iya.

Indonesia sebenarnya tetap akan ikut perang. Tapi bukan perang yang onoh. Perang Dunia III versi Indonesia adalah perang melawan oligarki, perampasan sumber daya alam, deforestasi, ketimpangan ekonomi, serta krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan.

Kalau kita nggak segera memerangi itu semua, dampaknya lebih seram ketimbang Perang Dunia III. Kita bukan akan berperang melawan negara lain, tapi melawan teman dan saudara kita sendiri.
Lha, habis, kalau kita nggak memerangi daftar itu semua, bencana alam akan datang silih berganti menimbulkan kelangkaan sehingga kita satu sama lain akan berebut air, tanah, makanan, yang berakhir dengan gesekan kelas dan endingnya, kita akan bunuh-bunuhan

Dengan kondisi seperti ini, dimana prediksi terjaidnya PDIII?

!. Laut China Selatan

Laut China Selatan telah menjadi bagian dari persengketaan antara Tiongkok dengan sejumlah negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, dengan beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, juga ikut tergabung dalam tensi di wilayah maritim kaya minyak dan salah satu jalur perlintasan kapal tersibuk di dunia.

Sampai sekarang, Amerika Serikat dan China belum menarik tensi yang begitu tinggi di Laut China Selatan.
"Namun, ketika hubungan kedua negara memburuk, satu atau dua hal disebabkan oleh perang dagang yang semakin keruh, kedua negara mungkin akan melakukan tindakan eskalasi yang melampaui koridor dolar, retorika atau hukum," kata Farley.

"Memang, jika China dan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa hubungan perdagangan mereka (yang telah memberikan landasan pertumbuhan ekonomi global selama dua dekade terakhir) berada pada risiko yang substansial, dan juga menyimpulkan bahwa konflik lebih lanjut tidak dapat dihindari, maka salah satu dari mereka mungkin memutuskan untuk mengambil langkah tegas di Laut China Selatan," lanjut Farley.

2. Ukraina 

Akhir tahun 2018, dunia mengingat Ukraina menjadi lokasi sebuah insiden ketika kapal militer Rusia menembaki dua kapal AL dan satu kapal sipil Ukraina di Selt Kerch, Laut Azov, Krimea.
Tak jelas apakah insiden itu disebabkan oleh Rusia atau Ukraina (dan kedua pemerintah tampaknya telah memainkan bagian tertentu), namun, kejadian itu menyalakan kembali ketegangan dalam krisis yang telah membara selama beberapa tahun terakhir. Deklarasi darurat militer oleh pemerintah Ukraina menyarankan kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina.

Yang pasti, Rusia tampaknya kurang berminat mengganggu status quo menjelang pemilihan umum Ukraina, sementara pemerintah Ukraina terus kekurangan kapasitas untuk mengubah fakta di lapangan secara konsekuen.

"Tapi, pemilihan umum yang akan datang, meski mungkin tidak akan mengubah persamaan dasar, tetapi dapat menimbulkan ketidakpastian. Mengingat ketegangan yang terus-menerus antara Rusia dan Amerika Serikat, bahkan perubahan kecil dapat mengancam keseimbangan yang tidak nyaman yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, berpotensi membuat Eropa Timur dalam kekacauan," jelas Farley.

3. Teluk Persia

Krisis politik dan militer di Timur Tengah telah menjadi kebosanan yang tidak nyaman. Tekanan ekonomi terhadap Iran terus meningkat, karena Amerika Serikat mengambil langkah yang lebih agresif untuk membatasi perdagangan dengan menjatuhkan sanksi.

Intervensi Arab Saudi di Perang Yaman tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, dan sementara Perang Sipil Suriah telah mereda, baik Amerika Serikat dan Rusia tetap berkomitmen untuk mitra dan proksi mereka.

"Tetapi, konflik bisa menyalakan kembali. Gejolak politik di Iran dapat membuat kestabilan di kawasan itu, baik mendorong Iran ke perilaku agresif atau membuat Republik Islam menjadi target menggoda bagi musuh-musuhnya," kata Farley.

"Ketegangan antara Kurdi, Turki, Suriah, dan Irak bisa pecah menjadi konflik terbuka kapan saja. Israel dan Arab Saudi pun bisa saja ikut campur, mengingat pentingnya strategis kawasan ini, ketidakstabilan apa pun dapat menyebabkan konflik antara Amerika Serikat, Rusia atau bahkan China," tambahnya.

4. Semenanjung Korea

Tidak diragukan lagi bahwa ketegangan di Semenanjung Korea telah menurun banyak pada tahun lalu, ketika Kim Jong-un menahan uji coba rudal nuklir dan balistik, dan Presiden Donald Trump telah mengurangi retorika kerasnya terhadap Korea Utara. Dan memang, prospek perdamaian abadi jelas lebih cerah sekarang ketimbang beberapa tahun sebelumnya.
Namun jebakan serius tetap ada. Presiden telah mempertaruhkan prestise-nya pada perjanjian dengan Korea Utara.

Tapi, Pyongyang membalas dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan menangguhkan, atau bahkan memperlambat, produksi senjata nuklir dan rudal balistik.
Penasihat Presiden Trump mengetahui dan tidak senang tentang kontradiksi mendasar ini. Jika Trump memburuk pada Kim, jika unsur-unsur pemerintahan mencoba merusak perjanjian, atau jika Kim memburuk pada Trump, hubungan antara Washington dan Pyongyang bisa memburuk dengan sangat cepat.

"Terlebih lagi, baik China maupun Jepang tidak sepenuhnya setuju dengan rekonsiliasi antara Korea Selatan dan Korea Utara, apalagi ditambah jika Utara memiliki nuklir, meskipun alasan mereka untuk skeptisisme sangat berbeda. Semua mengatakan, situasi di Korea tetap jauh lebih berbahaya daripada perkiraan penilaian paling optimis," kata Farley.


Harapan berbagai negara sih, semoga hal ini tidak akan pernah terjadi. Karena akan mengakibatkan korban jiwa yang pastinya tidak sedikit,kerugian fasilitas publik bahkan krisis ekonomi yang parah. 

x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar