Classical Conditioning - Alphabet Hana's Psychology

KLIK DISINITeori classical conditioning berawal dari usaha Ivan Pavlov dalam mempelajari bagaimana suatu makhluk hidup. Secara umum, dalam psikologi, teori belajar makhluk hidup selalu dihubungkan dengan stimulus–respons. Selain itu, teori–teori tingkah laku turut menjelaskan respons makhluk hidup dengan cara menghubungkan apa yang dialami atau menjadi stimulus respons tertentu yang didapat dari lingkungan tertentu. Proses hubungan yang terus menerus antara respons yang muncul dan rangsangan yang diberikan inilah yang kemudian didefinisikan sebagai suatu proses belajar (Tan dalam Alex Sobur, 1981:91).


Dalam dunia psikologi belajar tersebut, salah satu teori yang berusaha untuk menjelaskan hubungan antara stimulus dan respons adalah teori conditioning yang dikenalkan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936). Ivan Petrovich Pavlov, atau lebih dikenal dengan Ivan Pavlov, merupakan seorang behavioristik (penganut paham behaviorisme) yang terkenal dengan pandangannya bahwa terhadap hubungan yang kuat antara stimulus dan respons seseorang.


Classical conditioning adalah proses dimana suatu stimulus/rangsangan yang awalnya tidak
memunculkan respon tertentu, diasosiasikan dengan stimulus kedua yang dapat memunculkan. Hasilnya, stimulus pertama pun dapat memunculkan respon (Powell, Symbaluk, dan Honey, 2009).

Menurut teori classical conditioning, mungkin, musik favorit tersebut sering kita dengar ketika kita sedang dalam keadaan mood yang baik ataupun pada saat kita sedang berbahagia, sehingga musik favorite tersebut kita anggap sebagai suatu stimulus yang dapat membuat kita menjadi bahagia dan lama lama musik favorite tersebut telah terasosiasi dengan perasaan bahagia.

Skema dari Classical Conditioning :

Musik favorit -> tidak ada respon

Musik favorit + mood baik -> perasaan bahagia

Musik favorit -> perasaan bahagia

Prinsip-prinsip belajar menurut teori Classical Conditioning adalah sebagai berikut :

  • Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat dengan perangsang yang lebih lemah.
  • Proses belajar terjadi jika ada interaksi antara organisme dengan lingkungan
  • Belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan respons
  • Belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali atau dengan perkataan lain dan ulangan dalam hal belajar adalah penting
Proses Classical Conditioning

Berikut ini adalah beberapa mekanisme atau tahapan yang ada di dalam suatu proses pengondisian klasik Ivan Pavlov.

1. Menentukan Refleks yang Ingin Dikondisikan

Langkah pertama yang perlu dilakukan atau menjadi awal dari proses pengondisian klasik adalah empat hal pokok, yaitu stimulus yang tak dikondisikan atau unconditioned stimulus, respons yang tidak dikondisikan atau unconditioned response, stimulus yang dikondisikan dan respons yang dikondisikan. Conditioned Stimulus atau stimulus yang dikondisikan merupakan stimulus netral yang tidak menimbulkan respons alamiah pada organisme, atau dengan kata lain stimulus yang terkondisikan akan menimbulkan respons yang terkondisikan. Sementara itu, respon yang dikondisikan adalah respons yang timbul akibat adanya campuran atau kombinasi antara stimulus yang tak dikondisikan dengan stimulus yang telah dikondisikan.

Untuk menghasilkan sebuah respons yang terkondisikan, maka stimulus yang terkondisikan (SK) harus dipasangkan dengan stimulus yang tidak terkondisikan (ST). Pavlov memberikan contoh adanya pengkondisian tersebut melalui sebuah demonstrasi pengeluaran air liur pada anjingnya. Dalam demonstrasi tersebut, ST adalah larutan asam, respons yang tak terkondisikan (RT) adalah air liur dan SK adalah suara. Pada kondisi normal tentu saja suara tidak akan menyebabkan anjing berliur. Akan tetapi apabila dipasangkan suara tersebut dengan larutan asam, maka suara memiliki kemampuan untuk menyebabkan anjing mengeluarkan air liur. Pengeluaran air liur akibat mendengarkan suara adalah sebuah respons yang terkondisikan.

2. Pengondisian Tingkat Tinggi

Setelah stimulus yang terkondisikan dipasangkan dengan stimulus yang tidak terkondisikan beberapa kali, maka stimulus yang pada awalnya terkondisikan tersebut dapat dipakai seperti stimulus yang tidak terkondisikan. Maksudnya adalah, stimulus yang terkondisikan dan telah dipasangkan beberapa kali dengan stimulus yang tidak terkondisikan tersbut akan menimbulkan pengeuatan tersendiri dan menjadi sebuah stimulus yang pada akhirnya bersifat alamiah dan dapat dipasangkan dengan stimulus terkondisikan yang berikutnya untuk menghasilkan sebuah respons terkondisi yang lainnya.

3. Generalisasi atau Diskriminasi

Setelah dilakukan upaya untuk memberikan berbagai macam stimulus, maka lambat laun rangsangan yang sama akan menghasilkan suatu bentuk respons yang sama. Pada tahap ini, maka terjadi generalisasi pada subjek yang membuat subjek akan berperilaku tertentu ketika berhadapan dengan stimulus yang mirip dengan stimulus yang diberikan pada saat proses pembentukan perilaku.

Misalnya, ada seorang anak kecil yang merasa sangat takut pada anjing besar dan galak karena setiap kali bertemu dengan anjing galak ia digigit dan lain sebagainya. Anak tersebut lambat laun akan memberi respons rasa takut yang sama pada semua anjing, akan tetapi rentang stimulus rasa takut akan menyempit hanya pada anjing yang galak saja karena stimulus yang diberikan adalah stimulus anjing yang galak. Ketika anak kecil tersebut melihat anjing berukuran agak besar, maka respons yang muncul adalah ketakutan namun mungkin dalam kadar yang relatif rendah, dibandingkan dengan apabila ia bertemu dengan anjing besar yang galak.

Akan tetapi, selain generalisasi, juga dimungkinkan munculnya sikap yang berlawanan dengan generalisasi, yaitu suatu sikap yang disebut dengan sikap diskriminasi. Diskriminasi adalah suatu sikap individu terhadap rangsang tertentu yang berbeda dari pada yang telah dimunculkan berulang-ulang sehingga dia dapat memilih respons lain yang berbeda dengan apa menjadi responsnya pada rangsang yang sama. Dalam kasus anak kecil dan anjing di atas misalnya, anak kecil yang takut pada anjing galak, maka cenderung memberi respons rasa takut pada setiap anjing, akan tetapi ketika stimulus yang sama dengan apa yang telah sering diberikan padanya yaitu pada anjing galak yang terikat dan terkurung dalam kandang maka rasa takut anak itu menjadi berkurang.

Selain tiga proses di atas, terdapat pula proses pelenyapan eksperimental, iradiasi dan konsentrasi yang dapat terjadi pada subjek dalam proses pengondisian klasik. Pelenyapan eksperimental adalah hilangnya suatu perilaku tertentu karena adanya stimulus yang dihilangkan pada subjek sekalipun ada stimulus lain yang diberikan pada subjek tersebut. Apabila dilakukan pada massa yang banyak, maka penerapan pengondisan klasik dapat dinilai sebagai salah satu penerapan sistem komunikasi massa.

Tipe Pengondisian

Secara umum, berdasarkan penuturan Pavlov terdapat dua jenis pengondisian dalam proses pengondisian klasik. Tipe atau jenis pengondisian tersebut adalah pengondisian eksitatoris dan pengondisian inhibitoris. Pada prinsipnya, pengondisian eksitatoris adalah suatu pengondisian yang akan menimbulkan suatu respons tertentu, sementara pengondisian inhibitoris adalah suatu pengondisian yang berupaya untuk menghambat munculnya suatu respons tertentu melalui pemberian stimulus-stimulus tertentu baik stimulus terkondisi dan juga stimulus alamiah. Stimulus ini dapat berbentuk pesan nonverbal, seperti bahasa tubuh dalam komunikasi sebagai salah satu wujud fungsi komunikasi non-verbal.

Penerapan

Dalam praktiknya, teori pengondisian klasik banyak dipakai di berbagai lapangan untuk tujuan tertentu. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Hal ini sesuai dengan latar belakang alias dasar penemuan dari teori pengondisian klasik ini, yaitu dalam hal psikologi pembelajaran. Bagi para guru mengetahui penerapan teori pengondisian klasik ini dapat membantu proses pembelajaran yang dilakukan oleh mereka.

Ada banyak contoh kasus yang bisa kita ungkap dalam dunia pendidikan dengan cara pengondisian klasik. Misalnya adalah ketika murid sedang belajar mata pelajaran matematika. Pada saat pembeljaran matematika berlangsung dalam situasi yang menegangkan, gurunya juga galak, maka kemungkinan besar yang akan muncul pada diri siswa adalah penilaian atau sikap negatif terhadap mata pelajaran matematika, seperti misalnya bahwa matematika adalah mata pelajaran yang luar biasa sulit, menegangkan, hanya orang-orang khusus yang bisa, dan lain sebagainya.

Oleh karena sikap tersebut, maka siswa akan menghubungkan perasaan aversi atau perasaan penghindaran yang ditandai dengan dorongan untuk menarik diri atau menghindar dari suatu hal tertentu, dengan situasi mata pelajaran matematika yang menegangkan dan tidak menarik karena guru yang galak dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, untuk mengubah sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika tersebut, dibutuhkan suatu pengondisian inhibitor terhadap sikap aversi serta kesan negatif terhadap matematika, diiringi dengan pengondisian eksitatoris untuk memunculkan semangat siswa dalam mempelajari matematika.

Penerapan teori pengondisian klasik Pavlov tidak terbatas pada pembelajaran matematika di atas. Hampir di semua mata pelajaran, guru dapat menggunakan prinsip teori pembelajaran pengondisian klasik Pavlov termasuk dalam dunia komunikasi. Pada prinsipnya, melalui teori ini guru dapat memilih gaya bicara, diksi, dan lain sebagainya yang sesuai dengan siswa agar dapat memunculkan respons tertentu yang dapat meningkatkan proses belajar siswa agar dapat menguasai mata pelajaran dengan cepat dan tepat sesuai dengan keadaan siswa. Dengan mengombinasikan teori ini dengan media pembelajaran beserta ciri ciri media pembelajaran untuk membantu komunikasi pembelajaran, guru dapat membuat suatu pembelajaran yang menyenangkan.


Kelebihan Dan Kelemahan Classical Conditioning

Adapun kelebihan dan kekurangan conditioning klasik adalah :

A. Kelebihan

  • Cocok diterapkan untuk pembelajaran yang menghendaki penguasaan ketrampilan dengan latihan. Karena dalam teori ini menghadirkan stimulus yang dikondisikan untuk merubah tingkah laku pebelajar.
  • Memudahkan pendidik dalam mengontrol pembelajaran sebab individu tidak menyadari bahwa dia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

B. Kelemahan

  • Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis ( ketika diberi stimulus yang sudah ditentukan pebelajar langsung memberikan respon ) keaktifan pebelajar dan kehendak pribadi tidak dihiraukan
  • Teori ini juga terlalu menonjolkan peranan latihan/kebiasaan padahal individu tidak semata-mata tergantung dari pengaruh luar yang menyebabkan individu cenderung pasif karena akan tergantung pada stimulus yang diberikan.
  • Teori conditioning memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. dalam teori ini, proses belajar manusia dianalogikan dengan perilaku hewan sulit diterima, mengingat perbedaan karakter fisik dan psikis yang berbeda antar keduanya. Karena manusia memiliki kemampuan yang lebih untuk mendapatkan informasi. Oleh karena itu, teori ini hanya dapat diterima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skill (keterampilan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar